Sabtu, 16 Mei 2015

  • Memasak Adalah Kewajiban Suami?
    Di subuh yang dingin,,, ku dapati ibu sudah sibuk memasak untuk keluarga..
    “Ibu masak apa? Bisa ku bantu?”
    “Ini masak gurame goreng. Sama sambal tomat kesukaan bapak” sahutnya..
    “Alhamdulillah.. mantab pasti.. mari saya bantu. Eh bu.. calon istriku dia tidak bisa masak loh..”
    “Iya terus kenapa,,?” Sahut ibu..
    “Ya tidak kenapa2 sih bu.. hanya cerita saja, hehehe”..
    “Jangan di pikir memasak, mencuci, menyapu, mengurus rumah dan lain lain itu kewajiban wanita”
    “Hah.? Maksut ibu..?” Kaget..
    “Itu semua adalah kewajiban lelaki”
    “Tapi bukankah ibu setiap hari melakukannya?”
    “Kewajiban istri adalah taat pada suami. Karena bapak itu tidak mungkin bisa mengurusi rumah maka ibu bantu mengurusi semuanya. Sebagai wujud cinta dan juga wujud istri yang mencari ridho suaminya”
    Saya makin bingung bu.
    “Bukankah kewajiban lelaki untuk menafkahi istri? Baik itu sandang, pangan, dan papan” tanya ibu..
    “Iya tentu saja bu..”
    “Menurut mu pengertian nafkah itu yang seperti apa? Pakaian yang bersih adalah nafkah. Sehingga mencuci adalah kewajiban suami. Makanan adalah nafkah. Kalau beras. Itu masih setengah nafkah. Karena belum bisa di makan. Sehingga memasak adalah kewajiban suami. Lalu rumah adalah kewajiban suami. Sehingga kebersihan rumah adalah kewajiban suami”
    “Waaaaah.. sampai segitunya bu..? Lalu jika itu semua kewajiban suami. Kenapa ibu tetap melakukan itu semuanya tanpa menuntut bapak sekalipun?
    “Karena ibu juga seorang istri yang mencari ridha dari suaminya. Ibu juga mencari pahala agar selamat di akhirat sana. Karena ibu mencintai ayahmu, mana mungkin ibu tega menyuruh ayahmu yang baru pulang bekerja untuk melakukan tugas itu semua. Jika ayahmu berpunya mungkin pembantu bisa jadi solusi. Tapi jika belum ada, ini adalah ladang pahala untuk ibu”
    Aku hanya diam..
    “Pernah dengar cerita fatimah yang meminta pembantu kepada Nabi karena tangan nya lebam karena menumbuk tepung?” Tapi Nabi tidak memberinya.
    Atau pernah dengar juga saat Umar di Omeli istrinya? Umar diam saja karena tahu betul. Wanita kecintaannya sudah melakukan tugas macam2 yang sebenarnya itu bukanlah tugas istri. Tapi karena patuh dan taatnya wanita semua ridha di kerjakannya.
    “Iya buu…”
    “Jadi laki laki selama ini salah sangka ya bu, seharusnya setiap lelaki bertrimakasih pada istrinya. Lebih sayang dan lebih menghormati jerih payah istri.”
    “Eh. Terus kenapa ibu tetap mau melakukan semuanya padahal itu bukan kewajiban ibu?”
    “Menikah bukan hanya soal menuntut hak kita. Atau menuntut kewajiban suami kita. Tapi banyak hal lain. Menurunkan ego. Menjaga keharmonisan. Mengalah. Kerja sama. Kasih sayang. Cinta. Dan Persahabatan. Menikah itu perlombaan untuk brusaha membaikan satu sama lain. Yang wanita sebaik mungkin membantu suaminya. Yang lelaki sebaik mungkin membantu istrinya. Toh impianya rumah tangga sampai surga”
    “Subhanallah.. eeh kalo calon istriku tau hal ini dan dia malas ngapa2 in bu?”
    “Wanita beragama tentu tau bahwa ia harus mencari keridhoan suaminya. Sehingga tidak mungkin setega itu. Sedang lelaki beragama tentu tau bahwa istrinya telah banyak membantu. Sehingga tidak ada cara lain selain lebih mencintainya”
    “Hening…
    Sumber : Ummu Fahrian Ida


    Buah VS Manusia

    Ngomong-ngomong tentang buah, siapa sih yang nggak suka. Nah, bila kita lihat ciri fisik buah, kita bisa mengibaratkan “buah” dengan “jenis manusia”. Saya ambil contoh 4 nama buah, yaitu: Kedondong, Durian, Apel dan buah Asam.
    1. Buah kedondong. Ciri fisiknya: luarnya mulus tapi dalamnya “kasar” karena terdapat “tulang buah” seperti duri. Ini menggambarkan manusia yang fisik “luarnya” bagus, ganteng atau cantik tapi kepribadiannya nggak baik.
    2. Buah durian. Ciri fisiknya: luarnya berduri tapi dalamnya bagus, buahnya manis dan harum. Ini menggambarkan manusia yang fisik “luarnya” biasa, nggak ganteng atau cantik tapi kepribadiannya luar biasa Islami.
    3. Buah apel. Ciri fisiknya: luarnya bagus, mulus dan warnanya menarik, dalamnya pun bagus, buahnya manis, enak dan harum. Ini menggambarkan manusia yang fisik “luarnya” bagus, ganteng atau cantik dan kepribadiannya luar biasa Islami.
    4. Buah Asam. Ciri fisiknya: luarnya biasa aja, dalamnya pun biasa aja dan rasanya pun “asam”. Ini menggambarkan manusia yang fisik “luarnya” biasa, nggak ganteng atau cantik, kepribadiannya nggak baik pula.
    Sobat, mesti kita ingat, bila memiliki fisik memikat jadilah seperti buah apel yang nikmat. Dan mesti kita rasa, bila memiliki fisik biasa, jadilah seperti buah durian yang menggoda. Jangan jadikan diri, ibarat buah asam dan kedondong “berduri”.
    Sobat, Allah menilai manusia bukan dari fisiknya tapi dari pribadi takwanya. Mari simak FirmanNya:
    “…Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu..” (QS. Al Hujuraat: 13).
    Orang yang paling mulia adalah yang bertaqwa. Yuk kita jadikan diri kita menjadi pribadi yang bertaqwa.
    Sumber : Gaul Fresh

    Hukum Menikah Menggunakan Mahar Hapalan Qur’an

    Dalam fiqh, banyak dijelaskan bahwa mahar boleh berupa
    kemanfaatan tertentu, dalam arti boleh memberikan mahar
    berupa hafalan kepada istriny a dengan maksud mengajarkan
    apa yang dihafal. Imam al-Nawawi didalam kitabnya, Al-
    Majmuu’ ala Syarh al-Muhadzdzab (16/328) menjelaskan:
    ﻭﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻨﻔﻌﻪ ﻛﺎﻟﺨﺪﻣﻪ ﻭﺗﻌﻠﻴﻢ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻨﺎﻓﻊ
    ﺍﻟﻤﺒﺎﺣﺔ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ‏( ﺇﻧﻰ ﺃﺭﻳﺪ ﺃﻥ ﺃﻧﻜﺤﻚ ﺇﺣﺪﻯ ﺍﺑﻨﺘﻰ ﻫﺎﺗﻴﻦ ﻋﻠﻰ
    ﺃﻥ ﺗﺄﺟﺮﻧﻲ ﺛﻤﺎﻧﻰ ﺣﺠﺞ ‏) ﻓﺠﻌﻞ ﺍﻟﺮﻋﻰ ﺻﺪﺍﻗﺎ ﻭﺯﻭﺝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
    ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﻮﺍﻫﺒﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻯ ﺧﻄﺒﻬﺎ ﺑﻤﺎ ﻣﻌﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ
    “Dan boleh mahar yang berupa kemanfaatan seperti
    pengkhidmahan dan mengajarkan al-Quran dan kemanfatan-
    kemanfatan lainnya, berdasarkan firman Allah “Berkatalah dia
    (Syuaib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu
    dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa
    kamu bekerja denganku delapan tahun” (QS. 28:27) dalam ayat
    tersebut pengkhidmahan berupa menggembala dijadikan mas
    kawin dan karena baginda Nabi Muhammad SAW. Menikahi
    wanita yang beliau pinang, juga ada yang hanya memakai
    sesuatu dari al-Quran”
    Didalam kitab Al-Baajuuri (II/126) juga dijelaskan:
    ﻭﻳﺠﻮﺯ ﺍﻥ ﻳﺘﺰﻭﺟﻬﺎ ﻋﻠﻲ ﻣﻨﻔﻌﺔ ﻣﻌﻠﻮﻣﺔ ﻛﺘﻌﻠﻴﻢ ﺍﻟﻘﺮﺃﻥ …. ﻭﻻ ﻓﺮﻕ
    ﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ﺍﻟﻘﺮﺃﻥ ﺑﻴﻦ ﺍﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻜﻠﻪ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﻇﺎﻫﺮﻩ ﺍﻭ ﻟﺴﻮﺭ ﻣﻌﻴﻨﺔ ﻣﻨﻪ
    ﻛﺎﻟﻔﺎﺗﺤﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ ﺍﻭ ﻟﻘﺪﺭ ﻣﻌﻴﻦ ﻣﻦ ﺳﻮﺭﺓ ﻣﻌﻴﻨﺔ ﻛﺮﺑﻊ ﻣﻦ ﺳﻮﺭﺓ ﻳﺲ
    ﻭﺍﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺗﻌﺮﻳﻒ
    ﻩ “Dan boleh bagi seorang (calon) suami menikahi wanita
    dengan memakai kemanfaatan yang telah diketahui seperti
    mengajarkan al-Quran …Dan tidak terdapat perbedaan mengenai
    mengajarkan al-Quran antara mengajarinya seluruh al-Quran
    atau mengajarkan surat-surat tertentu seperti surat al-Fatihah
    atau surat lainnya, atau mengajarkannya pada batasan tertentu
    dari sebuah surat yang telah ditentukan seperti seperempat dari
    surat Yaasiin meskipun wanita tersebut telah mengetahuinya.”
    Dalil yang dijadikan pijakan adalah
    ﻋَﻦْ ﺳَﻬْﻞِ ﺑْﻦِ ﺳَﻌْﺪٍ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺟَﺎﺀَﺗْﻪُ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٌ ﻓَﻘَﺎﻟَﺖْ : ﻳﺎَﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺇِﻧّﻲِ
    ﻭَﻫَﺒْﺖُ ﻧَﻔْﺴِﻲ ﻟَﻚَ . ﻓَﻘَﺎﻣَﺖْ ﻗِﻴَﺎﻣًﺎ ﻃَﻮِﻳْﻼً . ﻓَﻘَﺎﻡَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻳَﺎﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ
    ﺯَﻭِّﺟْﻨِﻴْﻬَﺎ ﺇِﻥْ ﻟَـﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻟَﻚَ ﺑِﻬَﺎ ﺣَﺎﺟَﺔ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ : ﻫَﻞْ ﻋِﻨْﺪَﻙَ ﻣِﻦْ
    ﺷَﻲْﺀٍ ﺗُﺼْﺪِﻗُﻬَﺎ ﺍِﻳَّﺎﻩُ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻣَﺎ ﻋِﻨْﺪِﻱْ ﺍِﻻَّ ﺍِﺯَﺍﺭِﻱْ ﻫﺬَﺍ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺍِﻥْ
    ﺍَﻋْﻄَﻴْﺘَﻬَﺎ ﺍِﺯَﺍﺭَﻙَ ﺟَﻠَﺴْﺖَ ﻻَ ﺍِﺯَﺍﺭَ ﻟَﻚَ ﻓَﺎﻟْﺘَﻤِﺲْ ﺷَﻴْﺌًﺎ . ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻣَﺎ ﺍَﺟِﺪُ ﺷَﻴْﺌًﺎ .
    ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﺍِﻟْﺘَﻤِﺲْ ﻭَﻟَﻮْ ﺧَﺎﺗَﻤًﺎ ﻣِﻦْ ﺣَﺪِﻳْﺪٍ . ﻓَﺎﻟْﺘَﻤَﺲَ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﺠِﺪْ ﺷَﻴْﺌًﺎ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ
    ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ : ﻫَﻞْ ﻣَﻌَﻚَ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻘُﺮْﺁﻥِ ﺷَﻴْﺊٌ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﻧَﻌَﻢْ . ﺳُﻮْﺭَﺓُ ﻛَﺬَﺍ ﻭَﺳُﻮْﺭَﺓُ ﻛَﺬَﺍ
    ﻟِﺴُﻮَﺭٍ ﻳُﺴَﻤِّﻴْﻬَﺎ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ : ﻗَﺪْ ﺯَﻭَّﺟْﺘُﻜَﻬَﺎ ﺑِﻤَﺎ ﻣَﻌَﻚَ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻘُﺮْﺁﻥِ
    Dari Sahal bin Sa’ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita
    yang berkata,”Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu”, Wanita
    itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata,”
    Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin
    menikahinya”. Rasulullah berkata,” Punyakah kamu sesuatu
    untuk dijadikan mahar? dia berkata, “Tidak kecuali hanya
    sarungku ini” Nabi menjawab,”bila kau berikan sarungmu itu
    maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu”. Dia
    berkata,” aku tidak mendapatkan sesuatupun”. Rasulullah
    berkata, ” Carilah walau cincin dari besi”. Dia mencarinya lagi
    dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi,”
    Apakah kamu menghafal qur’an?”. Dia menjawab,”Ya surat ini
    dan itu” sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah
    Nabi,” Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar
    hafalan qur’anmu ” (HR Bukhari Muslim).
    Hadits diatas perlu disesuaikan dengan hadits lain, riwayat
    Imam Muslim yang shahih, dimana disebutkan bahwa
    Rasulullah SAW bersabda :
    ﺍِﻧْﻄَﻠِﻖْ ﻟَﻘَﺪْ ﺯَﻭَّﺟْﺘُﻜَﻬَﺎ ﻓَﻌَﻠِّﻤْﻬَﺎ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻘُﺮْﺁﻥِ
    “Pergilah, sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya,
    maka ajarilah dia dengan Al-Qur’an.
    Sumber : Gaul Fresh

    Cara Meredam Sakit Hati Terhadap Suami

    Kita bisa meresapi peristiwa yang menimpa Kaulah binti Tsa’balah, seorang wanita berakhlak mulia berasal dari Mekkah yang tercatat dalam Al Quran,  memiliki suami buruk lisannya. Aus bin shamit.
    Suatu saat, sama seperti rumah tangga pada umumnya bertengkar hebat diantara mereka. Keluarlah kalimat menyakitkan dari mulut suaminya, berkata:  “Kau bagaikan punggung ibuku”. Kata tersebut bermakna perceraian pada zaman itu. Tetapi Kaulah tidak lantas sedih, galau bahkan curhat kepada salah tempat, dia datangi Rasulullah untuk bermohon pencerahan. Karena Rasulullah berkata pada pemahaman yang ada disesuaikan firman Allah atas ucapan tersebut, Kaulah menjadi sedih, tetapi tidak sampai disana kesedihannya. Berlanjut Kaulah mendekatkan diri kepada Khalik.
    Maka turunlah ayat-ayat berikutnya dalam surat Al Mujaadilah yang disampaikan oleh Jibril kepada Rasulullah dan disampaikannya kabar gembira kepada Kaulah.
    “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(Al Mujaadilah ayat 1)
    Bahwa yang diucapkan suami Kaulah hanyalah hardik serta dusta belaka, dan Allah maha pengampun. Disini dapat kita pahami, bahwasanya kita sebagai istri sudah semestinya bersikap dan berprilaku layaknya Kaulah, yaitu:
    1.Berpikir jernih dan tidak cepat putus asa dalam menghadapi masalah didalam rumah tangga.
    2.Bermohon petunjuk kepada ahlinya/ustad/ustadzah.
    3.Tempat sebaik-baiknya mengadu dan bermohon cahaya pencerahan serta pengampunan hanyanya Allah.
    4.Al quran adalah pemberi cahaya/nuur disetiap persoalan.
    5.Memberi maaf dan intropeksi diri adalah perbuatan terpuji.
    6.Berhati lembut kepada suami adalah penyejuk didalam rumah tangga.
    Semoga selalu menjalani biduk rumah tangga dengan cahaya Ilahi disetiap persoalan.
    Sumber : Ummi Online

    Istri Bukan Tukang Cuci

    Seorang teman saya, laki-laki, pernah mengatakan satu hal yang saat itu membuat saya tercenung, karena tak pernah terpikir oleh saya bahwa ia akan mengatakan hal itu. Saat itu, kami beramai-ramai sedang ngobrol  santai sambil menunggu dosen masuk kelas. Obrolan merambah ke barbagai hal hingga tentang pernikahan. Di tengah obrolan itu saya sempat melontarkan kalimat gurauan, “Udah… habis lulus kamu nikah aja. Biar ada yang nyuciin tuh baju…”. Gurauan saya disambut senyum geli teman-teman lain. Tetapi tidak dengan teman yang menjadi sasaran gurauan saya tersebut.
    “Enggak, aku nggak seperti itu. Kalau cuma buat nyuci aja aku bisa beli mesin cuci.”
    Saat itu saya belum menangkap ke mana arah jawabannya itu. Saya pikir, ada benarnya kalau dia mempu beli mesin cuci, ya biar beli saja. Saya tak menyangka jawaban itu masih ada kelanjutannya.
    “Seorang istri itu bukan pembantu yang bisa kita manfaatkan buat nyuci, ngepel, dan lain-lain. Seorang istri itu pendamping, bukan tukang cuci.”
    Astaghfirullah… saya baru menyadari bahwa kalimat gurauan saya tentang istri yang bisa mencucikan  bajunya ternyata mendapatkan tanggapan serius, dan justru memberi saya wawasan baru tentang paradigma pernikahan. Dan hal itu diucapkan oleh seorang laki-laki.
    Namun setelah kami sama-sama lulus, perjalanan nasib yang berbeda dan waktu yang seakan berputar cepat telah membuat saya hampir lupa dengan kalimat teman saya tersebut. Takdir menempatkan saya sebagai seorang ibu dan istri, seperti yang terjadi pada rumah tangga lainnya, di mana tugas saya memang berkisar pada pekerjaan domestik yang tak ada habisnya. Apalagi setelah kelahiran anak ke dua, saya memilih untuk fokus di rumah mengurus rumah dan anak-anak.
    Ternyata apa yang menjadi bayangan saya, bahwa pekerjaan rumah tangga adalah surga wanita, tak selamanya terasa seperti itu. Tiba-tiba saja saya merasakan satu kejenuhan  dan merasa bahwa saya harus merubah semua yang sudah berjalan. Saya merasa tak memiliki kekuatan apa pun, atau sesuatu yang bisa dibanggakan. Sementara pekerjaan tak ada habis-habisnya, takut tak mampu mengerjakan dengan baik, takut salah, takut dicela suami jika satu hal belum beres saya kerjaan, meski suami tak sering menegur.
    Timbul pertanyaan di hati saya:
    Benarkah ini jalan hidup yang harus saya jalani seumur hidup saya?
    Benarkah saya sudah harus berpuas diri dengan pekerjaan domestik saja tanpa ada kegiatan lain?
    Benarkah takdir saya cukup sampai di dalam rumah dan anak-anak saja?
    Tidak bolehkah saya menjadi sesuatu, atau memiliki prestasi yang bisa membuat saya terhibur di samping menjadi ibu rumah tangga?
    Benarkah saya tak memiliki kemapuan apa-apa selain mencuci, menjaga anak, dan beres-beres rumah?
    Benar, saya mengalami perasaan seperti dalam kurungan waktu itu. Meski sesungguhnya di rumah adalah pilihan saya setelah pernah bekerja di luar rumah yang memang menyita waktu. Saya seolah akan meledak.
    Saat itu apa yang saya lakukan? Saya menelepon seorang Guru Bahasa Indonesia, dan menanyakan apakah saya bisa mengikuti kegiatan grup teater yang beliau kelola. Namun beliau lebih menyarankan saya untuk menulis saja dan mengirimkan ke media, karena untuk latihan teater harus meninggalkan rumah dan kadang sampai malam, padahal saya mempunyai bayi.
    Mungkin karena Allah mendengar jeritan hati saya, atau memang ini sudah menjadi sebagian dari skenario-Nya untuk hidup saya, saya berkesempatan menjadi seorang penulis meski belum melanglang buana di media. Dan… di sinilah titik balik dari semuanya,  hidup saya berubah.
    Bukan berarti saya tak lagi mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tetapi saya merasa memiliki sesuatu yang bisa saya jadikan sarana berkarir, berkreasi, berbagi, dan menghibur diri. Saya pun merasa bahwa suami makin bangga dengan istrinya yang ternyata bisa berprestasi meski  belum seberapa. Bukan tentang rupiah, tapi tentang “profesi lain” selain ibu rumah tangga, yang tak pernah ia sangka bahwa saya bisa melakukannya.
    Saat ini, pekerjaan domestik tetap saja penting, tapi bukan hal utama yang bisa memicu pertengkaran atau menjadi beban saya hidup saya. Rumah berantakan tak lagi menjadi kerisauan bagi saya, yang penting anak-anak makan. Tidak meyetrika tak apa jika isa dilimpahkan pada orang lain. Tetapi saya mencuci, memasak, meladeni makan anak-anak dan suami, dengan perasaan bahagia.
    Saya juga sadar, untuk menuju pada kondisi seperti ini, dulu juga butuh proses. Proses bagi saya sendiri, proses bagi suami, dan juga anak-anak. Kami saling memahami  dan menghargai kondisi  serta profesi masing-masing, sehingga saya masih leluasa menulis di antara pekerjaan-pekerjaan domestik itu. Dengan catatan, saya harus bisa memprioritaskan mana yang lebih penting. Saya sangat bersyukur, suami saya sangat mendukung dan siap sedia membantu pekerjaan-pekerjaan rumah tangga kami.
    Dan pada suatu ketika saya dihadapkan pada kejenuhan itu lagi, saat mesin cuci saya mati. Saya harus mencuci manual, sementara anak-anak butuh perhatian dan rumah berantakan. Saya bingung harus mulai dari mana mengerjakan semuanya. Tiba-tiba ingatan saya seakan terlempar pada bertahun-tahun silam di kampus, tentang kalimat teman laki-laki saya, “Istri bukan tukang cuci, kalau hanya untuk mencuci aku bisa beli mesin cuci atau nyuruh orang lain.” Saya tersenyum mengigat kalimat itu. Dan suami saya memang sebelumnya sudah menawarkan, “Nanti biar aku saja yang nyuci, kamu yang lain aja…”
    Saya makin tersenyum lebar dan bersyukur memiliki suami yang sadar sepenuhnya bahwa seorang istri bukanlah sekedar  “konco wingking” (Bahasa Jawa:  teman belakang), tetapi pasangan hidup, partner dalam mengarungi samudera kehidupan, yang harus sama-sama saling  menghargai profesi, keahlian, hobi, bahkan selera masing-masing. Itulah cinta yang sesungguhnya. Saya masih suka mencuci, dan memang setiap hari mencuci. Tetapi saya mencuci dengan penuh cinta kepada suami dan anak-anak, bukan karena suami memberi tugas saya sebagai seorang tukang cuci. Saya mencuci dengan penuh cinta karena suami benar-benar menghormati dan menghargai saya sebagai seorang istri, bukan sebagai pembantu rumah tangga. Ahamdulillah…
    Mencuci hanyalah salah satu dari seabreg kegiatan dalam rumah tangga, dan penulis hanyalah salah satu contoh profesi yang bisa digeluti seorang istri. Tapi dari pengalaman saya tentang mencuci dan menulis, mewakili kondisi ideal yang seharusnya ada pada sebuah rumah tangga. Bahwa, seorang istri meski memilih di rumah, sudah sepantasnya dihargai sebagai seorang manusia yang setara, yang butuh diajak berdiskusi, membuat kesepakatan-kesepakatan, dan pembagian pekerjaan rumah. Bukan otomatis semua pekerjaan rumah adalah beban istri seumur hidup. Seorang istri punya perasaan, punya otak untuk berpikir, punya kemampuan dan kreatifitas, maka selayaknya suami mempertimbangkan hal itu jika selama ini berpikir bahwa “istri adalah tukang cuci”.
    Sumber : Ummi Online

    UBAI BIN KA’AB

    “Selamat Bagimu, Hai ABUL MUNZIR, Atas ilmu Yang Kamu Capai…!”
    Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  menanyainya: “Hai Abul Munzir! Ayat manakah dari Kitabullah yang teragung?” Orang itu menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu!” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengulangi  pertanyaannya: “Abul Munzir! Ayat manakah dari Kitabullah yang teragung?” Maka jawabnya: “Allah tiada Tuhan melainkan la, Yang Maha Hidup lagi Maha Pengatur ” (Q·S. 2 al-Baqarah:255)
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-pun menepuk dadanya, dan dengan rasa bangga yang tercermin pada wajahnya, katanya: “Hai Abul Munzir! Selamat bagi anda atas ilmu yang anda capai!”
    Abul Munzir yang mendapat ucapan selamat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  yang mulia atas ilmu dan pengertian yang dikaruniakan Allah kepadanya itu, tiada lain adalah Ubai bin Ka’ab, seorang shahabat yang mulia
    Ia adalah seorang warga Anshar dari suku Khazraj, dan ikut mengambil bagian dalam perjanjian ‘Aqabah, perang Badar dan peperangan-peperangan penting lainnya. Ia mencapai kedudukan tinggi dan derajat mulia di kalangan Muslimin angkatan pertama, hingga Amirul Mu’minin Umar radhiyallahu ‘anhu sendiri pernah mengatakan tentang dirinya: – “Ubai adalah pemimpin Kaum Muslimin… !”
    Ubai bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang perintis dari penulis-penulis wahyu dan penulis-penulis surat. Begitupun dalam menghafal al-Qur”anul Karim, membaca dan memahami ayat-ayatnya, ia termasuk golongan terkemuka.
    Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kepadanya: “Hai Ubai bin Ka’ab! Saya dititahkan untuk menyampaikan al-Quran padamu”. Ubai radhiyallahu ‘anhu maklum bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  hanya menerima perintah-perintah itu dari wahyu.
    Maka dengan harap-harap cemas ia menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah, ibu-bapakku menjadi tebusan anda! Apakah kepada anda disebut namaku?” Ujar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Benar! Namamu dan turunanmu di tingkat tertinggi…. ! Seorang Muslim yang mencapai kedudukan seperti ini di hati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pastilah ia seorang Muslim yang Agung, amat Agung ! Selama tahun-tahun pershahabatan, yaitu ketika Ubai bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu selalu berdekatan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tak putus-putusnya ia mereguk dari telaganya yang dalam itu airnya yang manis. Dan setelah berpulangnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Ubai bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu menepati janjinya dengan tekun dan setia, baik dalam beribadat, dalam keteguhan beragama dan keluhuran budi ….Di samping itu tiada henti-hentinya ia menjadi pengawas bagi kaumnya. Diingatkannya mereka akan masa-masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, diperingatkan keteguhan iman mereka, sifat zuhud, perangai dan budi pekerti mereka.
    Di antara ucapan-ucapannya yang mengagumkan yang selalu didengungkannya kepada shahabat-shahabatnya ialah: “Selagi kita bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tujuan kita satu …. Tetapi setelah ditinggalkan beliau tujuan kita bermacam macam, ada yang ke kiri dan ada yang ke kanan…..!
    Ia  selalu  berpegang  kepada  taqwa  dan  menetapi  zuhud terhadap dunia, hingga tak dapat terpengaruh dan terpedaya. Karena ia selalu menilik hakikat sesuatu pada akhir kesudahannya. Sebagaimana juga corak hidup manusia, betapapun ia berenang dengan lautan kesenangan,dan kancah kemewahan, tetapi pasti ia menemui maut di mana segalanya akan berubah menjadi debu, sedang di hadapannya tiada yang terlihat kecuali hasil perbuatannya yang baik atau yang buruk.
    Mengenai dunia, Ubai pernah melukiskannya sebagai berikut: – “Sesungguhnya makanan manusia itu sendiri, dapat diambil sebagai perumpamaan bagi dunia: biar dikatakannya enak atau tidak, tetapi yang penting menjadi apa nantinya … ?”
    Bila Ubai radhiyallahu ‘anhu berbicara di hadapan khalayak ramai, maka semua leher akan terulur dan telinga sama terpasang, disebabkan sama terpukau dan terpikat, sebab apabila ia berbicara mengenai Agama Allah tiada seorang pun yang ditakutinya, dan tiada udang di balik batu.
    Tatkala wilayah Islam telah meluas, dan dilihatnya sebagian Kaum Muslimin mulai menyeleweng dengan menjilat pada pembesar-pembesar mereka, ia tampil dan melepas kata-katanya yang tajam:  “Celaka mereka, demi Tuhan! Mereka celaka dan mencelakakan ! Tetapi saya tidak menyesal melihat nasib mereka, Hanya saya sayangkan ialah Kaum Muslimin yang celaka disebabkan mereka… !”
    Karena keshalehan dan ketaqwaannya, Ubai selalu menangis setiap teringat akan Allah dan hari yang akhir….Ayat-ayat al-Quranul  Karim baik yang dibaca atau yang didengarnya semua menggetarkan hati dan seluruh persendiannya.
    Tetapi suatu ayat di antara ayat-ayat yang mulia itu, jika dibaca atau terdengar olehnya akan menyebabkannya diliputi oleh rasa duka yang tak dapat dilukiskan. Ayat itu ialah:
    ” Katakanlah: la ( Allah ) Kuasa akan mengirim siksa pada kalian, baik dari atas atau dari bawahkaki kalian, atau membaurkan kalian dalam satu golongan berpecah-pecah, dan ditimpakan-Nya  kepada  kalian perbuatan  kawannya sendiri  ” (Q·S. 6 al-An’am: 65)
    Yang paling dicemaskan oleh Ubai radhiyallahu ‘anhu terhadap ummat Islam ialah datangnya suatu generasi ummat bercakar-cakaran sesama mereka.
    Sumber : Gaul Fresh

    Cantik Tapi Syar’i, Ini Yang Di Cari

    Berbicara tentang cantik, cantik itu relatif. Dan tidak ada ukuran yang paten dalam menentukan cantik pada diri seorang perempuan. Tapi yang pasti, cantik itu adalah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT yang harus disyukuri.
    Tapi sayang, banyak sebagian remaja putri yang ingin tampil cantik bahkan berdandan yang berlebihan. bahkan dari segi penampilanpun di buat modis, dan ada juga nih, para remaja yang merasa sudah cantik dalam segi fisik, tak sedikit dari mereka merasa lebih dari yang lain atau sombong. Hmmmm…
    Coba deh buka pikiranmu, jika cantik wajahmu hanya karena make up, itu pasti akan hilang jika di basuh dengan air. Dan juga suatu hari pasti cantik diwajahmu akan menjadi keriput, ketika keriput apa yang akan kamu banggakan dari wajahmu??? Janganlah kamu berlaku sombong di dunia ini hanya karena wajahmu yang cantik, kalaupun kamu diberi wajah yang cantik oleh Allah, maka banyak-banyaklah kamu bersyukur. Dan bagi mereka yang diberi wajah yang kurang cantik tetaplah bersyukur dan tak perlu khawatir. Sebab, cantik atau tidak cantiknya seseorang, tidak menghantarkan kepada takwa dan surganya Allah.
    Tapi hakikatnya, wanita yang cantik adalah wanita yang dia menghiasi dirinya dengan kepribadian Islam. Ia bagai bidadari bumi yang membuat para bidadari di Surga cemburu padanya atas kepribadiannya yang luar biasa.
    Rasulullah bersabda: “ Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita sholehah” (HR.Muslim).
    Dialah teladan bagi orang sekitarnya. Kecantikan yang berasal dari kepribadiannya, menjaga kehormatannya sebagai seorang istri, anak dan perempuan muslim, berakhlak baik cermin atas segala ketaatan dan ketundukannya pada syariat Allah.
    “..Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa, sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat:13)
    Seorang wanita juga akan dikatakan mempunyai kecantikan jika dia bisa menjaga auratnya, dengan menutup tubuhnya secara sempurna menggunakan kerudung dan Jilbab. inilah kecantikan sejati seorang wanita serta cantiknya wanita dengan tunduk dan taat kepada Allah.
    Nah, jelas sekali bahwa cantik haruslah syar’i. yaitu cantiknya wanita itu hanya dilihat dari ketakwaannya, dan taatnya kepada Allah. Dia menjalankan semua aturan Allah, cantiknya dibalut dengan menutup aurat secara sempurna serta dia akan selalu menjaga dirinya agar menjadi wanita sholehah.
    sumber : Gaul Fresh

0 komentar:

Posting Komentar